Minggu, 24 Juli 2011

INTISARI SEGITIGA SAMA KAKI ( TRIANGLE MYSTERY )


Kenapa, saya tulis UNIQUE ???
karena memang unik, dan saya baru menyadari secara otodidak semingguan yang lalu
entah ini mendekati kebenaran atau malah mungkin benar yan saya kurang mahfum, bahwa ternyata TRIANGLE ini adalah inti dari segala bentuk gambar,miniatur maupun bentuk yang sering kita jumpai sehari2
andaikata ada puluhan atau bahkan ratusan, bila kita struct,
ternyata bila kita susun triangle tersebut, dapat pula kita buat menjadi bentuk kubus misalnya.
dan ternyata bukan cuma bentuk pula yang bisa kita ikuti alur turunannya, namun cara kita
ber_etika, mengambil keputusan, membuat strategi, tenyata juga memang amat sangan dibutuhkan melalui segitiga komunikasi, segitiga kemungkinan positif, segitiga cara menghadapi (maaf, untuk yang terakhir bukan untuk ajian nge'les.com lho ya)

so, walaupun tulisan ini singkat, kita tetap kembali kepada inti, bahwa apa yg kita lakukan , hendaklah untuk dipikirkan, dipertimbangkan minimal 3 kali, dan ketiga tiganya harus saling bersambungan, hingga terbentuk menjadi apa yang dinamakan SEGITIGA KOMUNIKASI

Jumat, 22 Juli 2011

U N I Q U E like 9


" INDIGO "
Anak indigo merupakan generasi baru yang terlahir di dunia ini.
Anak ini memiliki karakteristik yang unik yang membedakan dengan generasi sebelumnya.
Istilah indigo ini mengindikasikan aura dalam warna kehidupan.
Kata indigo sendiri diambil dari nama warna yaitu indigo, yang dikenal sebagai warna biru sampai violet. Indigo sendiri juga terkait dengan indera keenam yang terletak pada cakra mata ketiga yang menggambarkan intuisi dan kekuatan bathin yang luar biasa tajam di atas kemampuan orang kebanyakan. Anak yang mengalami indigo ini mampu menunjukkan empati yang sangat dalam dan mudah merasa iba, serta tampak bijaksana
- Memiliki keinginan yang kuat, mandiri dengan melakukan apa yang ada di pikirannya
- Bijaksana dan memiliki tingkat kesadaran dan kebersamaan yang melebihi pengalamannya
- Secara emosi, mereka dapat dengan mudahnya bereaksi sehingga tidak jarang mereka memiliki permasalahan dengan kecemasan, depresi atau stress
- Kreatif dalam berpikir dengan menggunakan otak kanan namun tetap harus berusaha belajar dengan menggunakan otak kiri
- Anak ini sangatlah peka dan dapat melihat, mendengar atau mengetahui sesuatu hal yang tidak dimiliki orang kebanyakan
- Anak-anak ini belajar secara visual dan kinestetik, mereka dapat mengingat apa yang terekam dalam otak dan menciptakan melalui tangan

Mengapa ini harus tersurat bukannya tersirat, karena mereka ada diantara kalian semua,mahfum dan mengerti itu LEBIH BAIK daripada menempatkan dalam Ruang Kosong dalam sisi dunia yang memang sudah penuh ini

Bandung, 22 Juli 2011

Kamis, 09 Juni 2011

SERAT CENTHINI

SERAT CENTHINI
( Pembuka Gerbang Adat Istiadat Jawa )

Serat Chentini

Ing ngandhap punika ka-aturaken tetedhakan purwakanipun Serat Centhini, sinawung ing sekar Sinom
1. Sri Narpatmaja Sudibya, talatahingnusma Jawi, Surakarta Hadiningrat, hagnya ring kang wadu Carik,Sutrasna kang kinanthi, mangunreh cariteng dangu, sanggyaning kawruh Jawa, hingimpun tumrap kakawin, mrih tan kemba karya dhangan kang miyarsa.
2. Lajere kang cinarita, laksananing Jayengresmi, ya She Adi Amongrogo, atmajeng njeng Sunan Giri,kontap janma linuwih, Oliya Wali Mujedub, peparenganing jaman, njeng Sultan Agung Matawis,tinengeran Serat Suluk tambangraras.
3. Karsaning Sang Narpatmaja, babon pangawikan jawi, jinereng dadya carita, sampating karsa marengi,Nemlikur Saptu Paing, lek Mukharam je warseku, mrakeh Hyang Surenggana, Bathara Yama Dewari,amawulu wogan su-ajag sumengka.
4. Panca-sudaning Satriya, wibawa lakuning geni, windu adi mangsa sapta, sangkala angkaning warsi, paksa suci sabda ji ( 1742 ) ingkang pinurwa ing kidung, duk Keraton Majalengka, Sri Brawijaya mungkasi, wonten Maolana saking nagri Jedah.
5. Panengran She walilanang, praptanira tanah jawi, kang jinujug Ngampeldenta, pinanggih sang maha resi, areraosan ngelmi, sarak sarengat njeng rosul, nanging tan ngantya lam, linggar saking Ngampelgadhing, ngidul ngetan anjog Nagri Belambangan.
Serat Centini
Serat Centhini, sebagaimana kita tahu, ditulis oleh sejumlah pujangga di lingkungan Keraton Surakarta yang diketuai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunagara III, putra mahkota Sunan Pakubuwana IV. Karya yang terkenal dengan sebutan Serat Centhini atau Suluk Tambangraras-Amongraga ini ditulis pada tahun 1742 dalam penanggalan Jawa, atau 1814 dalam tahun Masehi. Karya ini boleh dikatakan sebagai semacam ensiklopedi mengenai dunia dalam masyarakat Jawa.
Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum baboning pangawikan Jawi, atau katakanlah semacam database pengetahuan Jawa. Jumlah keseluruhan serat ini adalah 12 jilid. Aspek-aspek ngelmu yang dicakup dalam serat ini meliputi persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, kerawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon atau horoskop, soal makanan dan minuman, adat istiadat, cerita-cerita kuna mengenai tanah Jawa dan lain-lainnya. yang ingin ditunjukkan dalam tulisan ini adalah bagaimana Islam menjadi elemen pokok yang mendasari seluruh kisah dalam buku ini, tetapi ia telah mengalami “pembacaan” ulang melalui optik pribumi yang sudah tentu berlainan dengan Islam standar. Islam tidak lagi tampil sebagai “teks besar” yang “membentuk” kembali kebudayaan setempat sesuai dengan kanon ortodokasi yang standar. Sebaliknya,dalam Serat Centhini, kita melihat justru kejawaan bertindak secara leluasa untuk “membaca kembali” Islam dalam konteks setempat, tanpa ada semacam kekikukan dan kecemasan karena “menyeleweng” dari kanon resmi. Nada yang begitu menonjol di sana adalah sikap yang wajar dalam melihat hubungan antara Islam dan kejawaan, meskipun yang terakhir ini sedang melakukan suatu tindakan “resistensi”. Penolakan tampil dalam nada yang “subtil”, dan sama sekali tidak mengesankan adanya “heroisme” dalam mempertahankan kebudayaan Jawa dari penetrasi luar.
Barangkali, Serat Centhini bisa kita anggap sebagai cerminan dari suatu periode di mana hubungan antara Islam dan kejawaan masih berlangsung dalam watak yang saling mengakomodasikan, dan tidak terjadi kontestasi antara keduanya secara keras dan blatant. Sebagaimana kita tahu, dalam perkembangan pasca-kemerdekaan, identitas kejawaan makin mengalami “politisasi” dalam  menghadapi naiknya kekuatan Islam yang cenderung “puritan” dalam kancah politik. Dalam konteks semacam ini, antara kedua identitas ini (Islam dan Jawa), terdapat hubungan yang tegang dan penuh prasangka. Ketegangan ini terus berlanjut hingga dalam pemerintahan Orba.
Serat disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran
Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga, dan seorang putri bernama Rancangkapti. Dengan diikuti oleh dua santri, Gathak dan Gathuk, Jayengresmi melakukan “perjalanan spiritual” ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojanagara, hutan Bagor, Gambiralaya, Gunung Pandhan, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang. Dalam perjalanan ini, Jayengresmi seperti mengalami “pendewasaan spiritual”, karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuna, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawi. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, alamat bunyi burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu bersanggama, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syeh Siti Jenar. Jayengsari dan Rancangkapti berkelana dengan diiringi oleh santri Buras ke Sidacerma, Pasuruhan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari, Gunung Brama, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argapura, Gunung Rawun, Banyuwangi, terus ke Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma Banyumas. Dalam perjalanan itu, mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawi, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan mengenai wudlu, shalat, pengetahuan (yang terkesan agak bertakik-takik dan njlimet) mengenai dzat Allah, sifat, asma dan afngal-Nya, sifat dua puluh, Hadis Markum, perhitungan selamatan orang meninggal dunia, serta perwatakan Kurawa dan Pandawa. Melihat luasnya daerah serta lingkup pengetahuan yang dipelajari ketiga putra-putri Giri itu, tampak sekali ambisi penggubah kisah dalam Serat Centhini ini untuk “menerangkan” secara menyeluruh “dunia dalam” orang Jawa. Dengan demikian, serat ini juga bisa digunakan sebagai titik masuk untuk mengetahui bagaimana dunia Jawa “plausible” dan bermakna buat orang-orang Jawa sendiri. Sekaligus juga adalah bagaimana Islam “bermakna” dalam konteks tatanan kosmik mereka.
Melihat jenis-jenis pengetahuan yang dipelajari oleh ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas unsur-unsur Islam yang “ortodoks” bercampur baur dengan mitos-mitos di tanah Jawa. Ajaran Islam yang ortodoks mengenai sifat Allah yang dua puluh, misalnya, diterima begitu saja, tanpa harus membebani para penggubah ini untuk mempertentangkan ortodoksi itu dengan mitos-mitos dalam khazanah kebudayaan Jawa. Dua-duanya disandingkan begitu saja secara “sinkretik”, seolah antara alam “monoteisme” dengan “paganisme”/”animisme” Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan. Seperti telah dikemukakan di atas, dalam serat ini, Islam memang tidak dipandang semata-mata sebagai unsur eksternal yang “membebani” unsur lokal, bahkan pertentangan (katakan saja) weltanschauung antara kedua dunia itu (Islam dan Jawa) sama sekali tidak dipersoalkan. Begitu saja diandaikan bahwa keduanya commensurable dan saling bisa bertukar tempat. Tetapi, anehnya, dengan cara seperti inilah Jawa (sebagaimana ditampilkan oleh serat ini) melakukan “resistensi” (atau “domestifikasi”, dalam istilah Benda) atas Islam. Penggubah serat ini seolah-olah tidak mau tahu bahwa Islam sebagaimana tampil dalam korpus standar membawa sejumlah “efek ikonoklastik” atas kepercayaan setempat.Pasca-Centhini: Jawa “baru”? Bagaimana orang-orang Jawa pada periode-katakan saja-”pasca-Centhini” memahami hubungan antara Islam dan kejawaan? Adakah perubahan yang mendasar dalam pandangan-pandangan yang sebelumnya bernada sinkretis itu? Sebuah kesaksian kontemporer dari keluarga Jawa sebagaimana dituturkan oleh Hersri, layak dikutip di sini (saya ambil dari tulisan Hersri Between the Bars yang dimuat dalam buku Silenced Voices suntingan John H McGlynn yang terbit baru-baru ini). Cerita Hersri ini mewakili semacam corak yang umum dalam keluarga Jawa dari kelas bawah. Cerita ini terjadi di tahun 1947/1948. Hersri adalah orang yang tumbuh dalam keluarga abangan dan tidak mengenal “kesetiaan” yang fanatik terhadap agama-agama resmi. Sikap yang longgar ini tercermin dalam jawabannya ketika suatu ketika ia ditanya oleh gurunya di kelas, “Apa agamamu?” Ia kebingungan, karena di rumah tidak pernah memperoleh pengajaran mengenai kesetiaan yang eksklusif terhadap agama tertentu. Kakaknya yang sulung dikirim oleh ayahnya ke Sekolah Katolik di Muntilan, bukan dengan kesadaran mendalam agar anaknya belajar agama itu. Tetapi, Sekolah Katolik di daerahnya lebih menerapkan disiplin yang keras ketimbang sekolah lain, sehingga dengan demikian ayahnya berharap agar kakaknya yang ndablek itu bisa dijinakkan. Kakaknya yang lain belajar di Sekolah Taman Siswa. Sementara kakaknya yang nomor tiga dikirim ke Sekolah Muhammadiyah, juga bukan dengan alasan agar belajar Islam dengan baik, tetapi karena kakaknya yang satu ini tidak diterima baik di sekolah umum atau Protestan. Bapaknya sendiri selalu berkata bahwa semua agama adalah baik, dan sering ikut dalam acara selamatan desa yang biasanya juga menggunakan sejumlah ritual Islam (seperti tahlil, misalnya). Tetapi ia tidak pernah menjadi Muslim. Terhadap pertanyaan yang membingungkan dari gurunya itu, Hersri akhirnya menjawab, “Saya mengikuti semua agama yang ada.” Seluruh murid di kelasnya tertawa. Apakah ini cerminan dari sinkretisme seperti yang disebut di muka? Boleh jadi. Tetapi sikap permisif secara “teologis” ini lama-lama makin pudar, karena proses yang lain juga sedang berlangsung, yaitu apa yang sering disebut sebagai “santri-isasi” orang Jawa. Saya pernah mendengar cerita seorang jemaat
Gereja Kristen di kawasan Pulo Mas mengenai proses “baru” yang sedang berlangsung dalam
masyarakat Jawa itu. Dahulu, cerita si jemaat ini, jika ada jenazah di desanya (di Madiun), sudah menjadi adat yang lazim bahwa seluruh warga desa dari agama apa pun akan mengurusnya. Sekarang, setelah sejumlah fatwa MUI dikeluarkan mengenai larangan orang Islam terlibat dalam ritual agama lain (termasuk seremoni kematian, tentunya), pelan-pelan orang makin sadar akan “identitasnya” sebagai orang Muslim atau Kristen atau yang lain. Orang Jawa makin menyadari bahwa ada gejala lain yang muncul ke permukaan: gejala untuk menganggap sikap “permisif” secara teologis sebagai hal yang tidak lagi wajar.
Proses ini, tampaknya sudah berlangsung sejak lama, meskipun resonansinya baru tampak dengan
“keras” akhir-akhir ini. GWJ Drewes (dalam artikel berjudul Indonesia: Mysticism and Activism, yang dimuat dalam buku suntingan Gustave von Grunebaum, Unity and Variety in Muslim Civilization, [1955]), pernah mengemukakan pengamatannya di tahun 50-an mengenai proses Islamisasi di tanah Jawa. Ia mengatakan bahwa, The Islamization of Indonesia is still in progress, not only in the sense that Islam is still spreading among pagan tribes, but also in that peoples who went over to Islam centuries ago are living up more and more to the standard of Muslim orthodoxy.
Kecenderungan yang kita lihat akhir-akhir ini tampaknya memang makin cenderung membenarkan apa yang dikatakan oleh Drewes itu. Tetapi semacam caveat tetap harus dikemukakan di sini. Jika
kecenderungan makin “ortodoks” di kalangan masyarakat Jawa seperti dikemukakan oleh Drewes itu benar-benar terjadi, maka harus pula dipertimbangkan kenyataan bahwa dalam pemilu tahun lalu, partai-partai Islam mengalami kekalahan yang dramatis. PDI-P yang mempunyai basis luas di  kalangan masyarakat Jawa yang abangan, memperoleh suara yang besar. Apakah yang bisa kita simpulkan dari perkembangan baru ini? Tampaknya memang Jawa-Serat-Centhini belum menunjukkan tanda-tanda kepudaran, bahkan mungkin semacam resiliensi baru mulai dikembangkan. Meskipun perkembangan-perkembangan baru yang menuju ke arah Jawa-pasca- Centhini juga mulai memperlihatkan gejalanya.
============
Pethikan “Centhini” pupuh 37. Dhandhanggula, gatra 37 – 49 37 duk uripe neng dunya puniki sadina dina pan wis sakarat miwah sawengi wengine manggung sakaratipun melek turu sakarat ugi mila ngaran sakarat wong neng dunya iku dene ta ing salaminya urip iku neng dunya tan pegat dening layar segara rahmat 39. Ing tepine graitanen ugi dene wus aran iku sagara tanpa tepi supradene kaya na tepinipun ngengkol temen basa puniki kepriye yen kenaa kinira ing kalbu dinuga duga watara saking kira kira mapan datan keni kajaba kang wus wikan 40. Ing tepining ingkang jalanidhi. sagara rahmat kang tanpa ombak nanging gumleger alune samun lamun kadulu sawangane resik tur wening mila kang sami layar tan nganggo parau nyana tan na pakewuhnya yen tinrajang telenge keh parang curi mila arang kang prapta 42. Mampan arang iya angrawuhi ing warnane ya sagara rahmat tur sadina sawengine wong aneng dunya iku alalangen aneng jaladri jroning sagara rahmat prandene arang wruh saking kalingan ing tingal kalimput ing pancabayaning ngaurip mila arang waspada 43. Yen arsa layar maring jaladri sagara rahmat mawia palwa sarta lawan kamudhine pandoman sampun kantun myang layare dipun abecik miwah sanguning marga ywa kirang den agung yen tan mangkono tan prapta ing tepine iya sagara rahmati pan mundhak akangelan 44. Baitane pan eninging galih kemudhine pan anteping tekat sucining kalbu layare pandomanipun iku pituduhe guru sayekti sangune ngelmu rasa lakune parau kalawaban murahing Edat yen tumeka aneng tepining jaladri uga sagara rahmat (badhe kalajengaken menawi taksih wonten ingkang ngersaaken..) Kapethik saking “serat centhini latin 1 Yasandalem kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkurat III (Ingkang Sinuhun Paku Buwana V) jumeneng ing Surakarta (1820 – - 1823 M) kalatinaken miturut aslinipun dening Karkana  Kamajaya, Penerbit yayasan Centhini,Yogyakarta, 1991
14 Feb 08 | | 8. Sasra

Minggu, 05 Juni 2011

Sofa Minimalis Ruang Tamu kecil

SOFA MINIMALIS 80 %
( khusus untuk ruang tamu yang minim )
dimensi besaran 80 % dari besar sofa asli yang biasa beredar dipasaran
silahkan di download
Gratis kok
klik di sini untuk download satu album Desain Sofa Minimalis






Lemari Baju & Meja Belajar Anak

Lemari Baju & Meja Belajar Anak

warna cerah (cocok buat anak anak )
monggo di download gambarnya trus di cetak
bawa ke tukang meubel trus suruh bikinin
bayar, tinggal tunggu (kayaknya 1 mingguan dech ),
silahkan klik di sini untuk download satu album Meja Belajar Plus







LEMARI PAKAIAN & MEJA RIAS ( one set )

LEMARI PAKAIAN & MEJA RIAS ( one set )

Dimensi : P x T x L
150 x 200 x 50
Material : Kayu, Kaca dan tentunya paku dan lem
Monggo di download gambarnya
G R A T I S    lho  !!!!
(untuk cetak birunya, silahkan email ke : ndoynd@gmail.com








buat temen temen yang kemaren sempet minta CETAK BIRU_nya
MAAF banget, file_nya ilang, jadi monggo di DOWNLOAD aja
nyuwun pangapurane sing AGENG nggeh


Sabtu, 04 Juni 2011

KANDANG AYAM BROILER

KANDANG AYAM type PANGGUNG

Dimensi : L x P x T
8 x 40 x 6
Populasi : bisa menampung 3.000 ekor lebih (dikit lah)
Material : Kayu 6/12, 8/12,Bambu Utuh,Bambu pecah,Kawat Ram Harmonika,Paku,dan tentunya ga ketinggalan, sediain lahannya juga lho buat bangun kandang

nih gambarnya

Desain Lemari Pajang Minimalis

LEMARI PAJANG MINIMALIS

( cocok sebagai Partisi Ruang Tamu 3 x 6 meter yang ingin di bagi 2 )
Model : ND model 1
Dimensi : P x T x L
250 x 250 x 50
GRATIS !!!! Monggo di Download mawon
(untuk ukuran bahan monggo email aja ke ndoynd@gmail.com)